BE YOUR SELF

gali potensi diri, jujur, berani bertanggungjawab

Selasa, 31 Agustus 2010


Anes berjalan cepat-cepat menyusuri gang kecil di pagi buta. Dengan membawa dua keranjang kecil berisi sayur dan rempah-rempah untuk dijualnya di pasar. Arloji di tangannya memang masih menunjukkan pukul 05.30 WIB, tapi dengan perjalanan 30 menit ke pasar dan 30 menit lagi ke sekolah bisa membuatnya kesiangan, belum lagi waktu untuk bantu-bantu ibunya beres-beres barang dagangan. Dia terus berjalan tergesa dengan sekali-kali membetulkan posisi keranjangnya.

Pasar mulai ramai, Anes menghamparkan sebuah karpet lebar di atas meja kayu sebuah kios. Kios sayur milik ayahnya. Setalah selesai membereskan barang dagangan, ia segera beranjak pergi ke sekolah.

Untunglah gerbang sekolah masih terbuka lebar, jadi ia tidak perlu berdesak-desakan untuk melalui gerbang itu.

* * *

“Ulangan?! Aa……argh…!” teriak teman-teman sekelas Anes, ketika dirinya hendak memasuki kelasnya.

Anes memasuki kelas. “Ada apa sih?” Tanya Anes keheranan.

Seluruh siswa dari tiap penjuru kelas terdiam. Mata-matanya menatap tajam kepada Anes. Rupanya suara Anes yang begitu lembut dan pelan itu cukup terdengar jelas di telinga mereka.

Anes terdiam tegang. Wah, firasat buruk nih. Pikirnya. Anes meletakkan tas di atas mejanya dan duduk tersipu.

“Ssst…. Anes!” Bisik teman sebangkunya dengan mencubit pinggang Anes.

“Aw…! Ada apa sih?”

“Pokoknya, gue dan temen-temen nggak mau tahu, kali ini lo harus ngasih contekan !”.

“Contekan? Contekan apa ? Emang yang diributin temen-temen apa sih ? Aku nggak ngerti.”

Teman sebangku Anes yang diketahui bernama Yuli itu mendesah panjang. “Lo tahu kan Pak Joko yang killer itu, dia ngasih ulangan Ekonomi tiba-tiba. Nah …. Lo kan pernah ikut Olimpiade Ekonomi tuh waktu kelas sebelas, pokoknya lo harus bantu kita-kita!”

“Ekonomi ? Ya ampun … aku juga belum belajar ! kok tiba-tiba gini sih?” keluh Anes.

“Alah…. Udah deh jangan ngelak ! pokoknya kalo lo nggak ngasih contekan, lo tahu sendiri akibatnya !” Ancam Yuli seraya menyibakkan jilbab lebar Anes.

Uhf…. Anes mendesah. Ia rapikan jilbabnya kembali. Ya Allah…. sampai kapan aku terus bertahan dengan kecaman seperti ini ? Keluh Anes dalam hati. Dia ingat sesuatu yang pernah menimpanya. Waktu itu dia sedang dalam perjalanan pulang setelah ke pasar menemui ibunya. Tiba-tiba ada yang memanggilnya dibalik salah satu bangunan tua.

“Anes…..!” teriak orang itu seraya melambaikan tangannya.

“Yuli ?” sahutnya seraya mendekati orang itu.

“Sini ! Ada yang pengen ketemu sama lo !” bentak Yuli ketus.

Anes menurut saja, meski dihatinya ada firasat butuk. Tapi ia yakin kalau Allah pasti melindunginya.

Di belakang gedung itu, ternyata sudah ada teman-teman sekelasnya dan beberapa orang alumni sekolahnya salah seorang alumni perempuan menyambutnya dengan tangan berkacak pinggang. “Lo yang namanya Anes ?” Tanyanya sinis.

“Iya Kak, ada apa ?” Jawab Anes polos.

“Katanya lo pinter Ekonomi, ya ?”

“Ah, nggak Kak. Saya belum benar-benar memahami ilmu Ekonomi”. Jawab Anes datar.

“Anes, “ Tegur si alumni tegas.

“Ya Kak?”

“Lo tahu, kakak yang lagi duduk di motor itu, dulu paling sering dapet kasus di sekolah. Tapi sekarang, dia udah jadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri favorit !”

Orang yang dimaksud meninggikan kerah bajunya dengan bangganya.

“Lo tahu kenapa ?” Lanjut kakak alumni tadi. “Karena kita kompak, karena kita saling membantu. Di kelas dua belas, tidak ada lagi persaingan. Kita semua keluarga. Tujuan kita sama, supaya semua LULUS !” sengaja ia tekan kata lulus tersebut. “Kita masuk sekolah bareng-bareng, makanya keluar juga harus bareng-bareng !” Lanjutnya.

“Iya Nes, lo jangan egois ! Lo jangan mau lulus sendiri aja, kita-kita juga pengen lulus. Lo harus bagi-bagi jawaban pas UN nanti !” sahut Yuli.

“Iya Nes, jangan egois lo !” Teman-teman yang lain saling bersahutan.

Anes hanya terdiam. Perasaannya membuncah. Ada konflik antara hati dan prinsipnya. Rasa ibanya muncul mendengar kata-kata alumni tadi, tapi prinsipnya menolak. Sebagai seorang muslimah, tentu dia harus menjaga dan mempertahankan aqidahnya. Tentu saja Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya menolak perbuatan yang seperti itu.

“Hei !” Tegur kakak alumni dengan menepuk bahu kiri Anes.

Anes tersentak.

“Sekarang lo ngerti kan ? jadi gue harap lo kooperatif aja kalau tidak mau celaka !” ancam alumi. “Lo pernah denger kan, tentang anak sok pinter yang akhirnya nggak lulus UN ? Nasib lo akan seperti itu kalo lo berani bertingkah ! makanya, gue harap kerjasama lo, Ok ?!” kalimat itu ditutup dengan senyum yang dari awal tidak pernah dilihat Anes.

* * *

Kegaduhan kelas redam ketika Pak Joko datang dengan membawa soal-soal Ekonomi. Raut wajahnya yang menyiratkan kearifan, membuat murid-murid segan untuk melakukan kegaduhan, meski Pak Joko tidak mengomandoi untuk tenang.

Setelah membagikan soal-soal, Pak Joko memberi petunjuk cara pengerjaan, kemudian beliau menghampiri Anes. “Anes, setelah jam pelajaran Bapak selesai, kamu ke ruangan Bapak ya, ada yang perlu Bapak omongin.” Kata Pak Joko dengan logat jawanya.

“Baik Pak, Insya Allah” sahut Anes penuh hormat.

Setelah beberapa menit siswa mengerjakan soal, tiba-tiba Pak Jok keluar dari ruang kelas. Wah …. ini saatnya perjuangan besar dilakukan. Ya Robb…. Tuntunlah hamba – Mu. Harap Anes dalam hati.

Tak lama kemudian, memang benar suasana kelas menjadi gaduh. Siswa saling berlemparan kertas. Dan kebanyakan kertas-kertas itu mendarat di atas mejanya. Ya Allah…. jagalah aqidahku….!

Bukan hanya itu, dari belakang tempat duduknya ada yang mendorong-dorong dan menjungkit-jungkitkan kursinya, sangat keras. Hampir-hampir tubuh Anes terpental dari kursi. Namun Anes tetap pada posisinya, pura-pura tidak merasakan guncangan dahsyat yang menerpanya. Di samping kirinya, Yuli dengan tampang marah menggugah bahu Anes yang tetap menghadap ke depan. Anes tidak memperdulikan. Ya Allah … tolong aku …..!!! jerit hatinya.

Ingin rasanya dia menjerit, “Hentikan….!” Namun dia hanya bisa menunduk diam karena jika ia berontak, maka hancurlah ia dipojokkan satu warga kelas. Itu juga kalau mereka tidak “ngoceh” dan ngadu sama alumni, tapi kalau itu terjadi bisa-bisa ia dimusuhi teman satu sekolah juga para alumni yang turut mendukung agresi mereka.

Entah sejak kapan deviant culture ini dimulai, tiba-tiba Anes dipilih untuk masuk tim yang disebut tim SMU atau singkatan dari “Sukses Menjelang Ujian”. Dengan menjadi sumber pelajaran Ekonomi. Sumber disini dalam arti sumber pemberi jawaban. Na’udzubillah….. Konon hal seperti ini memang sudah terjadi setiap tahun. Kejadian ini sudah merupakan culture menjelang Ujian Nasional. Tim ini sangat memaksa, mencari siswa-siswi yang unggul dalam mata pelajaran tertentu untuk dijadikan sumber. Kalau yang bersangkutan menolak ? maka dia akan dikucilkan dan diganggu secara psikis sehingga convidents-nya berkurang dan kosentrasinya terkoyok. Astargfirullah…..

Orang-orang seperti Anes-lah yang kadang merasa bimbang dengan kondisi seperti ini. Antara nurani dan idealisme. Kadang Anes juga berpikir, ah untuk apa hanya menuruti kata hati dengan alasan kemanusiaan, tapi toh itu suatu bentuk penyimpangan kemanusiaan. Jadi mana yang bisa disebut kemanusiaan kalau yang dilakukan adalah suatu bentuk penyimpangan ?! Lagipula, kalau toh Anes menolak tawaran mereka, paling lama dimusuhi sampai lulus UN, setelah semua sukses masuk perguruan tinggi, suasananya akan tenang kembali. Tapi kalau mengikuti mereka, Anes akan dibenci Allah. dan urusannya tidak akan berhenti sampai dunia, melainkan akhirat.

Ya, tentu Anes sangat tidak setuju dngan adanya tim SMU itu, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Lalu bagaimana dengan para guru ? Mereka hanya bisa tutup mata dan telinga menanggapi hal itu. Karena guru-guru dan kepala sekolah pun mempertimbangkan masalah akreditasi sekolah. Kalau nilai kelulusan bagus maka akreditasi semakin bagus. Ya Allah…. dimana Al-Qur’an – Mu ? Na’udzubillah, sangat jauh nilai Al-Qur’an – Mu di hati umat Rasul – Mu di zaman ini.

* * *

“Ya Allah ….., tolong aku !”

Mata Anes terpejam penuh harap ketika mengucapkan kalimat itu dalam hati. Ya….hanya dalam hati.

Dan ternyata, beruntunglah Anes karena Pak Joko datang memasuki kelas. Suasana kelas pun tenang kembali. Kesempatan ini digunakan Anes untuk mengerjakan soal-soal itu dengan cepat. Ya, sangat cepat ia mengerjakannya , tidak sampai lima menit. Anes mengumpulkan lembar jawabannya di atas meja Pak Joko.

“Sudah selesai, Anes ?” tegur Pak Joko.

“Iya, Pak.” Jawab Anes dengan sangat sopan.

“Anes, ikut Bapak ke ruang komite sekolah. Kamu urus sendiri Beasiswa mu dengan penanggung jawab keuangan sekolah, ya.”

“Baik, Pak.”

Anes pun pergi mengikuti langkah Pak Joko menuju ruang komite sekolah. Sementara ruang kelas mulai gaduh. Dan di atas meja guru di ruang kelas Anes, ah… kertas ulangan Anes, tertinggal disana.

* * *

“Kenapa lo tadi nggak ngasih jawaban ke kita-kita ?!” bentak Yuli memojokkan Anes ditembok belakang sekolah. Sudah berkumpul disana beberapa anggota tim SMU lengkap dengan sang ketua tim tersebut, Arya. Yang dikenal Anes sebagai pacar Yuli.

Anes tertunduk lemah,” kan ini bukan ujian, Yull,”

“Hea….?! Bukan ujian ? Tapi ini latihan untuk melaksakan aksi kita di ujian nanti !” Yuli membentak lebih keras dengan aura kemarahan.

“Udah lah Yul, toh kita udah kasih pelajaran buat dia.” Arya menghentikan aksi pacarnya. Yuli tersenyum sinis menatap Anes. Arya memberi isyarat untuk pergi. Semua pun pergi dari tempat itu meninggalkan Anes, termasuk Yuli. Baru beberapa langkah, Arya berhenti dan membalikkan badannya, menatap Anes lekat-lekat.

“Gue tunggu janji lo di ujian nanti ! orang ngerti agama kayak lo masa nggak nepatin janji ?! Gue harap sih lo kooperatif, kalo lo nggak mau celaka !” Arya mengatakan dengan nada datar. Diakhiri dengan senyum simpul andalannya. Senyum simpul yang menusul-nusuk hati Anes yang lembut.

* * *

Anes sedang menata dagangannya di atas meja kayu. Tak terasa, ujian tinggal beberapa hari lagi. Anes tidak buru-buru berangkat sekolah hari ini, karena dia datang lebih pagi. Ba’da shubuh ia langsung pergi ke pasar, supaya bisa lebih santai, pikirnya. Lagi pula, dia sudah ada janji hari ini dengan Fatma, teman se-organisasinya di Rohis untuk berangkat sekolah bersama.

Di sekolah, tepatnya di ruang kelas Anes, keributan memecah pagi yang damai. Anes masuk ke dalam kerumunan, mencari tahu perihal apa yang sedang diributkan. Oh ….. ternyata kertas hasil ulangan kemarin. Anes mengoyak-ngoyak tumpukan kertas itu, mencari kertas ulangan miliknya. Ah, hasil ulangan teman-temannya bagus-bagus, bohong sekali kalau mereka hanya mengandalkan Anes untuk ujian nanti.

Anes terus mengoyak tumpukan kertas ulangan itu, namun tak juga ditemukan kertas ulangan miliknya. Di kolong-kolong meja dan kursi pun tak ia temukan. Sampai matanya menangkap kerumunan di dekat tembok, tepatnya di mading kelas. Yuli menempelkan sebuah kertas, kertas ulangan. Penasaran, ia mendekati kerumunan itu. Yuli tersenyum sinis padanya. Tak dihiraukan. Konsentrasinya hanya tertuju pada selembar kertas yang tertempel di mading itu.

Anes mengamati tulisan pada kertas itu, sepeti tulisannya.tapi banyak coretan-coretan disana, ah…. bukan, itu bukan miliknya. Kertas ulangannya tidak memiliki banyak coretan seperti itu. Ia tidak memperdulikan kertas ulangan itu. Hampir-hampir ia mengabaikannya, sampai akhirnya melihat sepintas sebuah kata-kata ejekan disamping nilai merah pada kertas itu.

“ GANJARAN BUAT ANES !!!”

Begitu gurat tulisan itu tertulis dengan huruf kapital dalam font besar, membuat hati Anes serasa dicabik-cabik. Emosinya membuncah, mendobrak setiap relung-relung kesabaran yang selama ini ia jaga. Nafasnya sudah tersengal oleh kemarahan yang tertahan. Itu memang kertas ulangannya, dan ia hanya mendapat nilai lima untuk mata pelajaran Ekonomi yang disukainya. Oh….. Anes, emosinya tak tertahan.dia mencabut kertas yang tertempel itu, kemudian merobek-robek, dan menghamburkannya di lantai. Teman-temannya hanya melongo melihat kejadian itu.

“Astaghfirullahal’adzim….” Anes beristigfar penuh takzim, benar-benar mengharap ampunan – Nya.

Teman-teman sekelasnya terbahak melihat tingkah Anes. “Astaghfirullah….!” Seru mereka menirukan logat Anes dengan nada mencemo’oh.

Anes berlari meninggalkan ruang kelas, dengan membawa isak tangis. Tangis kesedihan juga tangis kebencian. Tidak memperdulikan ejekan teman-temannya.

Yuli menyeringai, “Orang ngerti agama kok nggak bisa nahan amarah !” ucapnya lantang, dengan nada kebencian. Diikuti bahakan teman-teman sekelas.

Anes tak peduli, dia hanya terus berlari entah mengikuti hatinya.

* * *

Di dalam Masjid, Fatma menatap Anes penuh iba. Orang yang berada di hadapannya hanya menunduk lemah.

“Kamu dikerjain ya sama mereka ?” Fatma membuka pembicaraan.

Anes tertegun, ia mengangkat kepalanya.

Fatma mengerti dengan gurat muka penuh tanya Anes. Fatma menjelaskan tanpa diminta, “Waktu kamu pegi ke ruang komite sama Pak Joko, kertas ulangan kamu kan tertinggal di kelas. Ya ….. kamu bisa ngebayangin kan, kertas ulangan tertinggal nggak ada yang jaga, nggak mungkin tetap berada di atas meja dengan utuh. Terlebih mereka sangat membenci kamu. Disamping itu, mereka juga butuh jawaban untuk mengerjakan soal ulangan.”

Anes keheranan, “Darimana kamu tahu, Fat ?”

Fatma terdiam sejenak, salah tingkah. Tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, “Udahlah Nes, kamu kooperatif aja sama mereka. Aku nggak mau kamu celaka. Aku…..” kata-kata Fatma iba-tiba tersendat.

“Kamu ikut mereka, Fat ?” Sahut Anes tiba-tiba.

Fatma menunduk lemah, “Iya,” jawabnya lirih.

Ah…. Ya Allah…… jantung Anes seperti dicabik-cabik. Orang yang sangat dipercayainya, orang yang sangat terlihat ketaqwaannya, begitu saja menyetujui tawaran sepeti itu ? Apakah Anes yang salah ? Lalu dimana ayat Al-Qur’an yang membolehkan untuk contek-contekan saat ulangan ? Ah…. Anes tak mengerti.

“Fat, kamu tahu kan ….”

Fatma memotong pembicaraan Anes. “Iya…. Iya aku tahu, itu mudhorot. Nggak perlu ceramahin aku !” Fatma sewot.

“Afwan kalo aku salah”.

“Nes, gini ya, saya, temen-temen, dan semua pelajar di Indonesia, adalah korban penekanan pemerintah ! semua ini cuma untuk kepentingan pemerintah ! Kamu bayangin aja Nes, enam mata pelajaran di UN-kan, belum lagi nilai kelulusan yang semakin tinggi. Belum tentu semua pelajar bisa mencapai nilai di batas itu. Sekolah tiga tahun cuma ditentuin tiga hari ujian untuk bisa lulus. Gimana kalo dalam tiga hari itu pikiran kita lagi kacau ? uhf …. Ini semua cuma untuk kepentingan pemerintah, Nes ! Cuma buat nampang di mata dunia supaya dipuji negara-negara lain !”.

Anes menghela napas panjang. Diikuti Fatma.

“Nes, gimana kalo kita nggak lulus ?! Orang tua aku pasti bakal malu dan marah banget sama aku. Mereka pasti kecewa. Apa lagi Ayah, beliau udah berusaha mati-matian buat ngebiayain sekolah aku. Hk…..hk….” Fatma tersedu.

“Udahlah Fat, jangan mikir yang nggak-nggak. Kamu pasti lulus kok, kamu kan pinter !” hibur Anes. Ia sodorkan senyum termanisnya pada Fatma.

Fatma membalas senyum. “Kadang Indonesia tuh lucu ya Nes, Amerika aja nggak pernah ngelakuin pemaksaan misal seperti ini, tapi tetep mendapat gelar “Negara Adidaya’. Indonesia ? Justru dengan pemaksaan seperti itu, mentalitas bangsa Indonesia malah semakin turun ! Mental-mental tukang nyontek, bibit-bibit korupsi !” Fatma menekan kata “korupsi” itu dengan tertawa sinis.

“Iya ya, dari sekarang aja kita di bimbing oleh pemerintah untuk menjadi koruptor. Melalui Ujian Nasional itu.“ Anes ikut-ikutan sinis. “Kamu jadi sumber apa Fat, di tim SMU itu ?” Tanya Anes penuh sindiran.

“Biologi.”

“Oh….. “ Anes manggut-manggut sok serius. Ya, sahabatnya ini emang dari SMP sangat suka Biologi, sampai sekarang pun prestasinya tetap unggul di Biologi. Fatma memang tidak satu jurusan dengan Anes, Fatma di IPA dan Anes di IPS.

Pertemuan itu diakhiri pelukan dua sahabat. Anes dan Fatma.

* * *

Anes terus berpikir selama perjalanan pulang, jadi sebenernya yang salah siapa ? Apakah hukum Al-Qur’an yang tidak jelas ? Ah tidak mungkin, Al-Qur’an selalu benar. Apa ini salah pihak sekolah, tim SMU, atau pemerintah ? sudahlah, yang penting sekarang gimana menyiasati masalah ini.

Anes terus berpikir, sampai pikirannya itu terganggu karena melihat sosok yang terkuyung lemah di depannya. Anes mengenal laki-laki itu, dia adalah teman satu sekolahnya, tapi siapalah namanya, Anes tidak tahu.

Anes mendekati orang itu, ya Allah…… kondisinya sangat mengenaskan. Ada banyak luka memar di mukanya, seperti bekas dipukuli. Sikunya berdarah, tangannya terus memegang perut. Seperti ada sesuatu yang menghantam perutnya.

“Kamu kenapa ?” sapa Anes.

Dia hanya meringis-ringis kesakitan.

“Aku panggilin tukang becak ya, kita ke rumah sakit atau di Puskesmas aja?”

“Nggak usah, Nes !” Jawabnya lemah.

Anes tertegun, anak ini mengenalnya ? “Lukamu harus cepet diobati !” paksa Anes.

“Ke Puskesmas aja”. Akhirnya dia mengalah.

Anes memanggilkan tukang becak, “Mang, anterin dia ke Puskesmas, ya!”

“Iya, Neng.” Tukang becak membantu mengangkat tubuh lelaki itu. Anes memanggil becak lain untuk mengikuti temannya ke Puskesmas.

Sesampainya di Puskesmas, Anes pergi ke Receptionist untuk registrasi, disinilah kesempatannya untuk tahu nama cowok itu.

“Namamu?” Tanya Anes simpel.

“Andro”.

Oh….. namanya Andro. Bisiknya dalam hati. Kemudian Anes membereskan hal-hal lainnya yang diperlukan untuk registrasi.

* * *

“Makasih ya, Nes.” Ucap Andro usai pengobatan. Sekarang mereka sedang berjalan pulang.

“Ah, ngggak apa-apa kok,” Anes tersipu. “Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa babak belur gitu sih ? Berantem ya ?”

“Iya. Dipukulin sama tim SMU.” Jawab Andro datar.

Ha ? Anes tertegun. Dipukulin tim SMU ? Anes menghentikan langkahnya. Mengatur kata-kata apa yang dapat ia ungkapkan untuk mewakili seribu Tanya dalam hatinya. “Kenapa ?” akhirnya kata itu yang keluar dari mulutnya.

“Sama kayak kamu, aku nggak setuju sama mereka.” Andro datar saja mengucapkanya. Namun nada datar Andro itu sudah cukup membuat jantung Anes berdetak kencang.

“Wah… Andro, aku tertarik ngobrol sama kamu, kita ke Masjid di depan aja yuk, sekalian nunggu shalat Ashar.” Ajak Anes.

* * *

Andro duduk terpaku memegangi jidatnya yang memar. Sekarang mereka berada di teras Masjid, Anes yang duduk beberapa meter disampingnya, tampak sibuk mencari mahram untuk menemaninya. Untunglah ada ibu-ibu yang cukup Anes kenal, dia adalah Bu Rahman, tetangga Anes. Bu Rahman hendak menjadi jamaah shalat Ashar di Masjid itu.

“Ayo ceritain, Andro !” Anes membuka pembicaraan.

“Oh, ya.” Andro gelagapan, ia sempat bingung memulai dari mana, akhirnya dia bisa mengendalikan diri juga. “Mungkin kamu nggak kenal siapa aku, Nes. Mungkin kamu juga baru tahu aku sekarang. Tapi aku udah kenal kamu dari kelas sepeluh. Ah….. sudahlah nggak penting.” Andro menyeringai tersipu.

Anes yang mulai tersipu juga, segera membenahi diri.

Andro melanjutkan ceritanya, “Aku sendiri juga nggak tahu kenapa, tiba-tiba ada sekelompok anak yang dikenal nakal di sekolah, masuk ke kelas ku. Dan aku dipilih menjadi sumber Fisika. Sejak saat itu juga aku menolak, tapi aku malah dikucilin. Diganggu secara fisik dan mental. Mungkin karena aku laki-laki, jadi mereka kasar sama aku. Tapi aku akan tetep pada pendirianku, sampai UN pun aku nggak sudi ngasih contekan sama mereka.”

“Kamu IPA berapa, Ndro ?” Tanya Anes tiba-tiba.

“IPA 2.”

“Oh…. sekelas sama Fatma, dong.”

“Iya, kasihan Fatma, dia cewek yang lembut, shalehah pula. Tapi dia dipaksa untuk ikut. Yang aku kecewain, kenapa dia mau aja ? Oh, itulah yang membuat aku salut sama kamu, kamu berani bersikap, Nes !” Tutur Andro yang membuat jantung Anes berdebar.

Anes tersipu lagi, dan dengan segera pula ia membenahi diri. “Oya, aku mau tahu alasan kamu, kenapa sih kamu bersikeras nggak mau jadi sumber?” Tanya Anes menguji.

“Ada dua alasan, yang pertama, jelas ngerugiin aku. Enak aja, aku yang mikir, susah-susah belajar, eh…mereka tinggal enaknya aja. Mending kalo dibayar, sama tuh kaya para koruptor, orang lain yang kerja, mereka yang kaya.” Dasar otak-otak koruptor!” Maki Andro.

Anes tertawa kecil, “Yah…namanya juga koruptor, ya udah, terus yang kedua apa tuh?”

“Nah, yang kedua ini nih, yang suka diketawain tim SMU kalau aku ngomong di depan mereka.”

“Emangnya apa alasan kamu ?”

“Aku rasa, bakal nyambung deh kalau ngomong sama kamu. Gini-gini aku juga salah satu fans beratnya Rasulullah, Nes!”

Anes tertawa melihat tingkah Andro, ternyata aslinya Andro kayak gini? Anes menggeleng-gelengkan kepala.

“Heu, jangan salah, Nes! Aku tuh inget banget ya, waktu Rasulullah nasehatin orang yang hobi zina, judi dan ngrampok. Beliau tidak minta macem-macem sama orang itu, cuma minta satu hal, jujur. Akhirnya dengan satu kata “Jujur”, orang itu kewalahan deh ngelakuin aksinya berzina, judi dan ngrampok. Soalnya dia harus jujur sama Rasulullah, kalau nggak jujur nanti masuk neraka, karena nggak menuruti perintah Rasul. Tapi kalau dia jujur, dia malu sama Rasulullah. Selain itu juga khawatir dikenai hukum kisas. Akhirnya apa yang terjadi? Orang itu nggak nglakuin zina, judi, ataupun ngrampok, karena dia takut sama Rasulullah, takut sama Allah, Nes…!” Cerita Andro berapi-rapi.

“Ya…trus apa hubungannya sama tim SMU?” Celetuk Anes.

Andro gelagapan, muka “No problem’nya terlihat lucu, “Gini Nes, coba deh kamu liat di kamus Bahasa Inggris, nyontek tuh apa sih Bahasa Inggrisnya?”

Anes mengerutkan kening, kadang pola pikir orang ini tak terduga.

“Yup, selama ini kita mengenal istilah ‘Cheat’ untuk diartikan ‘Nyontek’, tapi secara Bahasa, Cheat artinya mencuri, itu artinya, orang Inggris menganggap nyontek itu sama aja dengan mencuri. Secara etika aja, itu kan tindakan kriminal, apalagi Agama, Nes! Itukan dosa, wajib hukum kisas!” Andro menjelaskan penuh semangat, sampai terjadi hujan lokal dari mulutnya.

Subhanallah…jantung Anes berdesir. Pertanyaan Anes selama ini mengenai hukum Al-Qur’an tentang nyontek terjawab sudah melalui Andro, laki-laki yang aneh! Pikir Anes.

Anes belum mau menyerah, meskipun dia sudah mengetahui kemampuan Andro, tapi dia tetap ingin menguji Andro, sepertinya ada satu pertanyaan lagi yang akan keluar dari mulut Anes.

“Ndro, sesuatu dikatakan ‘mencuri’ itu kan kalau salah satu pihak merasa dirugikan, nah.. kalo kayak model si Fatma nih, dia kan kooperatif tuh sama tim SMU, mereka senang, Fatma juga Ridho, itu kan udah ada ijab qobulnya Ndro, trus gimana tuh hukumnya? Nggak bisa dong dikatain nyuri, kan kedua belah pihak udah melakukan transaksi.” uji Anes lagi.

“Ce’ela… anak Ekonomi, ngomongnya yang transaksi, ijab qobul lah, emangnya orang nikah, pake ijab qobul segala?” Canda Andro.

“Ya trus gimana itu klarifikasinya?”

“Tetep aja mereka bohong, bohong pada pengawas, bohong pada guru, dan yang paling parah bohong pada diri sendiri. Sendirinya ngerasa nggak bisa ngisi, tiba-tiba dapat nilai gede. Terus juga mereka tetep aja nyuri, nyuri kesempatan dari pengawas. Lagian, tolong-menolong kok dalam kemaksiatan?!” Jawab Andro.

Wah…kini hati Anes bener-bener puas, memang itu jawaban yang diharapkannya. Meski mungkin akan menimbulkan banyak tanya bagi orang lain yang tidak se-visi denganya.

Andro tersenyum simpul melihat Anes yang puas dengan jawabannya. Anes tersipu melihat senyum Andro yang tulus, tanpa sinis, tanpa ancaman. Oh…Anes diam-diam mengagumi lelaki itu.

Hening sejenak.

“Ndro, aku punya ide.” Anes buka mulut.

“Apa?” Andro mendekatkan telinganya ke arah Anes. Mereka berbisik, merencanakan sesuatu, sampai tak terasa Adzan Ashar berkumandang.

* * *

Detik-detik yang mendebarkan, hari yang dinanti telah tiba. Ujian Nasional sedang dijalani. Hari pertama diawali dengan Matematika dan Sosiologi. Anes tidak melirik sedikit pun kertas-kertas yang melintas disampingnya. Entah kenapa, hari ini dia begitu percaya diri. Anes begitu yakin dengan jalan yang ia tempuh.

“Ya Allah, Ridhoilah amalku.” Harap Anes ketika akan mengumpulkan lembar jawaban. Hari ini dijalaninya begitu mulus, entahlah kalau hari esok. Karena jadwal besok adalah Bahasa Inggris dan oh…Ekonomi. Anes melunglai.

* * *

Hari kedua UN

Pengawas begitu siaga menatap lekat-lakat para siswa yang sedang mengerjakan soal-soal UN. Siswa begitu rapih, berkonsentrasi dengan kepala menunduk pada soal.

Karena pikirnya siswa tidak bermasalah, maka dia mengalihkan perhatian pada sebuah koran yang berada di meja pengawas.

Seketika pengawas itu mengalihkan perhatian, sebuah kertas mendarat tepat di pangkuan Anes. Anes langsung gemetar. Harus dia apakan kertas ini? Anes lirik pengawas yang sedang duduk di kursinya, ah…dia malah asik dengan korannya. Ya Allah…kenapa harus seperti ini?

Dengan penuh rasa takut, Anes memberanikan diri membuka kertas itu. Perlahan, dengan hati berdebar. Anes menutup mata. Setelah kertas itu. Perlahan, dengan hati berdebar. Anes menutup mata, Anes membuka matanya kembali. Ha…?! Ternyata cuma kertas kosong. Uhf…Anes mendesah.

Namun tak lama kemudian, seseorang yang duduk di belakang tempat duduk Anes, menyodorkan sebuah kertas. Arya? Anes tak dapat menolak, ia terima kertas itu. Dengan rasa takut, ia pun membuka kertas pemberian Arya, dengan sesekali melirik pengawas yang tetap enjoy dengan surat kabarnya.

Lo isi jawaban di kertas kosong itu, atau lo tau sendiri akibatnya!

Begitu tulisan yang Anes baca dari kertas pemberian Arya.

Anes memejamkan mata, ah…sudah ia duga akan seperti ini. Anes menghela napas panjang, mencoba meyakinkan hatinya. Akhirnya, dengan terpaksa Anes mengisi kertas kosong itu. Hati Anes berdesir, ada rasa bersalah yang sangat besar.

Anes memberikan kertas itu kepada Arya. Setelah kertas itu samapai di tangan Arya, sesegera mungkin Anes pergi dari tempat duduknya, mengumpulkan lembar jawaban.

Dengan senyum simpulnya, Arya menatap Anes penuh kemenangan. Sedikit demi sedikit Arya membuka kertas itu, sampai terlihat jelas tulisan rapi Anes.

Kalian pengen dimengerti, tapi kalian sendiri nggak mau tahu kondisi orang lain. Kalo aku ngelakuin kesalahan, kalian selalu mencela, “orang ngerti agama kok nggak nepatin janji, nggak bisa nahan amarah.” Pernah nggak sih kalian mikir, orang ngerti agama kayak aku kok contek-contekan!

Maafin aku, temen-temen. Aku Cuma pengen kita masuk surga bareng-bareng…

Seketika muka Arya merah membaca tulisan itu. Ia marah kepada Anes, tapi juga malu, karena sejujurnya ia membenarkan perkataan Anes. Arya merasa begitu hina di hadapan Anes. Selama ini ia selalu mencari-cari kesalahan orang lain, padahal kesalahan dirinya lebih besar di hadapan Tuhannya. Ia selalu memaksa kehendak kepada orang lain, tak mau tahu bagaimana kondisi orang itu. Ya Allah…dia menyadari, begitu banyak kesalahan yang ia lakukan. Di bangku ujian ini, dia menemukan cahaya hidayah yang selama ini tak disadarinya. Subhanallah…

* * *

Tiba di hari kelulusan. Wajah-wajah bahagia tergugat di muka para pelajar. Seluruh siswa di sekolah Anes dinyatakan LULUS 100%. Alhamdulillah…

Anes sedang membawa map biru muda menuju ruang kepala sekolah. Tiba-tiba seseorang memanggilnya.

“Anes!”

Anes menoleh, “Arya?”

Arya mendekat dengan tersenyum, kali ini senyum yang sangat tulus, “Makasih Ya, Nes.”

Anes kebingungan, “Mm…m…makasih?”

“Iya, karena kejadian waktu UN itu, aku jadi dapet pelajaran yang berharga.”

Ya Allah…Anes terkejut, Arya bisa ngomong kayak gitu? Entahlah, Anes tak tahu harus berkata apa, bahkan dengan perasaannya sendiri pun Anes tak tahu, yang pasti dia sangat terkejut melihat perubahan Arya. Terma kasih, Ya Allah…

Arya meninggalkan Anes, terlebih dahulu ia akhiri pertemuan itu dengan senyum termanisnya. Senyum yang tulus dan ikhlas.

“Assalamu’alaikum,” Tuturnya grogi

“Wa…Wa’alaikum Salam.” Jawab Anes tertegun.

Ya Allah…inikah rencana-Mu? Hadiah termanis untuk para pelajar yang selalu berusaha keras dan selalu menjaga aqidah-Mu, seperti Anes. Ya Allah…sungguh, Kau-lah yang menjadikan yang tiada menjadi ada.” Dan yang ada menjadi tiada. Subhanallah…

Anes masih tertegun menjawab salam Arya dengan bibir bergetar. Sampai tiba-tiba sesuatu mengagetkannya

Duer…

“Astaghfirullahal’adzim…” Anes menoleh ke samping kirinya, sumber suara itu. “Andro!” Bentak Anes kaget. Anes manyun melihat tingkah temannya yang aneh itu.

“He…he… Sori, Nes!” Andro nyengir. “Wah…aku jadi makin salut sama kamu, Nes. Kamu tuh sosok yang terlihat rapuh, tapi tegas dan punya sikap.” Puji Andro.

Deu…hati Anes berbunga-bunga, senyumnya melebar. Cowok satu ini emang selalu bisa membuatnya tersipu. Kalau saja Andro perhatikan, pipi Anes memerah seperti udang rebus.

THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar